Jumat, 05 Oktober 2012

TUGAS POLITIK HUKUM - KONSEKUENSI YURIDIS TERHADAP PRODUK HUKUM YANG MENGALAMI KEKURANGAN YURIDIS


BAB I
PENDAHULUAN

Pemerintah dalam kekuasaannya berwenang untuk membuat suatu produk hukum sebagai salah satu alat untuk menjalankan pemerintahannya. Dalam menciptakan suatu produk hukum telah terbagi dua jenis yaitu yang pertama berupa peraturan (regeling) dan yang kedua berupa keputusan (beschikking). Suatu peraturan (regeling) bersifat mengatur ketentuan-ketentuan umum dalam menjalankan suatu kebijakan atau pemerintahan. Sedangkan suatu keputusan (beschikking) lebih bersifat individul, konkret, dan final.
Kewenangan pemerintah dalam membuat suatu produk hukum adalah merupakan kewenangan delegasi yang artinya kewenangan tersebut langsung dibeikan oleh Undang-Undang.
Suatu keputusan yang dibuat oleh pemerintah tentunya harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Syarat itu sendiri terbagi menjadi 2, yaitu syarat materiil dan syarat formil.
1.      Syarat Materiil
1)      Harus dibuat oleh aparat yang berwenang
2)      Dalam proses pembuatannya tidak mengalami kekurangan yuridis
3)      Memiliki tujuan yang sama dengan tujuan peraturan yang mendasarinya
2.      Syarat Formil
1)      Bentuk peraturan harus sama dengan bentuk peraturan yang mendasarinya
2)      Prosdur pembuatannya harus sama dengan prosedur yang diminta oleh peraturan yang mendasarinya
3)      Semua peraturan khusus yang terdapat dalam peraturan dasar harus terwujud

Sebagai salah satu syaarat maretiil, suatu produk hukum tidak boleh mengalami kekurangan yuridis karena akan berpengaruh terhadapkekuatan produk hukum itu ketika lahir.








BAB II
PEMBAHASAN

  1. KETIDAKABSAHAN SUTAU PRODUK HUKUM
Suatu produk hukum dinyatakan sah dan tidak cacat hukum adalah ketika produk hukum tersebut memenuhi semua syarat materiil dan semua syarat formil, yaitu :
·         Syarat Materiil
1)      Harus dibuat oleh aparat yang berwenang
2)      Dalam proses pembuatannya tidak mengalami kekurangan yuridis
3)      Memiliki tujuan yang sama dengan tujuan peraturan yang mendasarinya
·         Syarat Formil
1)      Bentuk peraturan harus sama dengan bentuk peraturan yang mendasarinya
2)      Prosdur pembuatannya harus sama dengan prosedur yang diminta oleh peraturan yang mendasarinya
3)      Semua peraturan khusus yang terdapat dalam peraturan dasar harus terwujud
Salah satu jenis produk hukum adalah keputusan (beschikking), tentunya terdapat beberapa keputusan yang menaglami cacat yuridis, hal ini dikarenakan  :
·         Keputusan batal demi hukum bila tidak dipandangan perlu dari segi hukum
·         Keputusan batal apabila ada keputusan dari hakim dan atau Administrasi yang mengeluarkan keputusan tersebut, dan pembatalan itu bersifat mutlak.
·         Keputusan yang dapat dibatalkan yakni dinyatakan batal oleh hakim
Keputusan yang tidak sah tidak memiliki kekuatan hukum, apabila :
1.      Keputusan tidak sah berlaku surut  sampai saat dikeluarkannnya keputusan itu
2.      Keputusan tidak sah mulai saat pembatalan itu
Menurut Utrecht kekuatan hukum suatu putusan terbagi dua, yaitu :
1.      Kekuatan hukum formil, yakni apabila kekuatan produk hukum tidak dibantah oleh alat hukum, misalnya naik banding.
2.      Kekuatan hukum materiil, yakni apabila kekuatan itu tidak dapat lagi ditiadakan oleh alat negara yang membuatnya.


Dalam pembentukan suatu produk hukum yang mengandung kekurangan yuridis disebabkan oleh :
1.      DWALING (kekhilafan atau salah kira)
Kekhilafan terjadi apabila subyek hukum menghendaki sesuatu dan mengadakan suatu pernyataan yang sesuai dengan kehendak itu, tapi kehendak tersebut didasarkan atas suatu bayangan yang salah. Bayangan yang salah ini meliputi :
a.       Salah kira mengenai pokok maksud pembuat, atau mengenai kedudukan, kecakapan seorang subyek hukum.
b.      Salah kira mengenai seorang suyek hukum atau mengenai hak orang lain atau mengenai suatu peraturan hukum
c.       Salah kira mengenai hukum atau kekuasaan sendiri
Jadi dapat ditarik garis besar bahwa dwaling terjadi ketika kehendak dan kenyataan berbeda tanpa ada unsur kesengajaan.
Dwaling sendiri dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
a.      Eigenlijke Dwaling (kekhilafaan atau salah kira yang sungguh-sungguh)
Prof. Van Der Pot mengemukakan bahwa apabila administrasi negara dalam menjalankan suatu peraturan perundang-undangan hendak mengangkat seseorang oleh karena seseorang itu mempunyai suatu kecakapan/keahlian tertentu, yang mana oleh administrasi negara dikira orang tersebut memiliki kecakapan atau keahlian yang dikehendaki, sedangkan orang yang telah diangkat sama sekali tidak mempunyai kecakapan yang dikehendaki, yang mana kecakapan tersebut seharusnya menurut peraturan perunang-undangan adalah merupakan syarat suatu pengangkatan terhaap orang itu adalah batal (nietig) atau keputusan tersebut tidak sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak menjadi syarat pengangkatan, maka keputussan tersebut tidak batal.
b.      Non Eigenlijke Dwaling (kekhilafan atau salah kira yang tidak sungguh-sungguh)
Dikatakan Non Eigenlijke Dwaling ketika produk hukum itu absah, tetapiyang tidak absah hanya sebagian kekhilafan saja.
2.      DWANG (Paksaan)
Paksaan dapat menjadi sebab untuk dibatalkannya suatu keputusan dan paksaan keras dapat menjadi sebab untuk dapat dibatalkannya suatu keputusan yaitu batal karena hukum.akibat perbuatan yang diadakan karena paksaan (biasa) adalah dapat dibatalkan (sebagian), oleh karena pada pihak yang dipaksa ada suatu kehendak. Walaupun pmbentukan suatu kehendak itu ada suatu ancaman.
Namun pada kenyataannya dwang berbeda, karena ada paksaan dan patut diduga sipembuat peraturan tidak mungkin berbuat lain kecuali mengikuti kehendak si pemaksa (overmaaght).


3.      BEDROG (Tipuan)
Tipuan terjadi bilamana yang mengadakan perbuatan menggunakan beberapa muslihat (kunstgrepen) sehinggga pada pihak lain ditimbulkan suatu bayangan palsu (valse voorstelling) tentang suatu hal. Agar ada tipuan maka perlu beberapa muslihat, ada gabungan muslihat-muslihat (complex van kunstgrepen), jadi apabila hanya ada satu kebohongan atau muslihat maka tidak dapat dikatakan sebagai tipuan.
Hubungannya dengan suatu keputusan adalah keputusan hanya batal (dapat dibatalkan) apabila sifat tipuan begitu rupa sehingga dapat dikatakan bahwa dengan tidak menggunakan muslihat-muslihat itu sudah tentu suatu keputusan tidak pernah dibuat. Dalam hal ini ada kekurangan (essentieel). Seperti halnya salah kira, maka kekurangan yang disebabkan tipuaan itu dapat mempengaruhi berlakunya keputusan hanya dalam hal tipuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang atau dengan kejadian-kejadian yang benar-benar ada (feiten).[1]
Keputusan yang mengandung kekurangan yuridis, paksaan, tipuan, dan kekeliruan yang menjadi sebab suatu keputusan itu tidak dapat diterima sebagai keputuan yang sah.
Utrecht berpendapat bahwa : “ bahwa keputusan yang tidak sah dapat membawa akibat bagi hukum tidak pernah ada, jadi kepada hukum yang bersangkutan dibawa kembali kepada hukum sebelum keputusan itu dibuat, dalam istilah hukum dikenal dengan ex tunct, yaitu tidak sah untuk waktu sebelum pembatalan. Jadi pada hukum yang bersangkutan tidak dibawa kembali kedalam sebelum keputusan itu dibuat, dalam istilah hukum dikenal dengan sebutan ex munc, yaitu tidak sah untuk kemudian saja dan terhadap pembatalannya tidak berlaku surut”.
Berbeda dengan pendapat Utrecht, Van Der Wel mengemukakan teorinya bahwa : “ suatu keputusan yang menetapkan suatu keputusan yang sungguh-sungguh tidak mungkin dilaksanakan dapat dianggap batal sama sekali. Mengenai keputuan-keputusan lain, kita harus melihat apakah kekurangan-kekurangan yang bersangkutan adalah kekurangan essentieel atau kekurangan yang bukan essentieel, kekurangan yang bukan essentieel tidak dapat mempengaruhi berlakunya keputusan. Mengenai kekurangan essentieel harus dilihat beratnya kekurangan. Apabila kekurangan itu terlalu berat sehingga keputusan yang bersangkutan sebetulnya tidak berupa keputusan, maka keputusan yang bersangkutan itu dapat dianggap batal sama sekali. Apabila kekurangan tidak begitu berat maka keputusan yang bersangkutan dapat dianggap batal terhadap subyek hukum yang tidak mempunyai alat untuk menggugat berlakunya keputusan itu.




Selanjutnya Van Der Wel menyampaikan 6 akibat apabila suatu keputusan mengandung kekurangan :
ü  Batal karena hukum.
ü  Kekurangan itu menjadi sebab atau menimbulkan kewajiban untuk membatalkan keputusan yang bersangkutan untuk sebagian atau untuk seluruhnya.
ü  Kekurangan yang menyebabkan alat Administrasi Negara yang lebih tinggi dan berkompeten untuk menyetujui atau mengukuhkannnya tidak sanggup memberikan persetujuan.
ü  Kekurangan itu tidak dapat mengurangi berlakunya keputusan.
ü  Oleh karena kekurangan itu maka keputusan yang bersangkutan dikonversi kedalam suatu keputusan lain.
ü  Hakim sipil menganggap keputusan yang bersangkutan tidak mengikat.[2]

B.     PENGECUALIAN
Produk hukum tetap dianggap berlaku apabila :
1.      Tidak absahnya kabur.
2.      Akibat yang ditimbulkan produk hukum tersebut bermanfaat bagi umum.

BAB III
KESIMPULAN

1.      Suatu produk hukum harus memenuhi unsur syarat Materiil ( berkaitan dengan isi produk hukum ) dan syarat Formil ( dikaitkan dengan bentuk suatu produk hukum ).
2.      Disebut kekurangan yuridis apabila telah mengandung unsur :
a.       Dwang
b.      Dwaling
c.       Bedrog
3.      Terdapat 2 bentuk akibat suatu produk hukum mengalami kekurangan yuridis :
a.       EXTUNC ( batal dengan berlaku surut )
b.      EXMUNC ( batal dengan tidak berlaku surut )
4.      Produk hukum tetap dianggap berlaku apabila :
a.       Tidak absahnya kabur.
b.      Akibat yang ditimbulkan produk hukum tersebut bermanfaat bagi umum.


[1] Utrecht E. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Putaka Tinta Mas. Surabaya. 1994. Hal 125-141
[2] Suryono Hasan. Hukum Tata Usaha Negara Cetakan I. LPP UNS dan UNS Press. Surakarta. 2005. Hal 39-41

Tidak ada komentar: