Sabtu, 17 Maret 2012

Tugas Mata Kuliah Politik Hukum - Tinjauan Yuridis Kewenangan Aparat Dalam Menciptakan Produk Hukum

BAB I

PERMASALAHAN

Lembaga DPR, Presiden, Kepala Daerah, dan Hakim merupakan beberapa aparat yang berwenang mencipatakan suatu produk hukum yang sesuai dengan tujuan negara. Setiap wewenang yang mereka miliki tentunya berasal dari Undang-Undang yang artinya kewenangan yang mereka miliki bersifat atributif, namun ada beberapa aparat yang memiliki kewenangan distributif yang artinya kewenangan yang diberikan tidak lewat undang-undang.

DPR merupakan lembaga negara yang berwenang untuk mengeluarkan produk hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, seperti halnya DPR, Presiden, Kepala Daerah (gubernur dan bupati), dan bahkan hakim, dengan kewenangan yang demikian maka sudah seharusnya para aparat ini mampu memahami betul tatacara atau hal-hal lain yang berkenaan dengan pembuatan peraturan perundang-undangan.

Hirarki pemerintahan kita dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, sampai pemerintahan desa sangat memungkin untuk terjadinya penyerahan berbagai wewenang baik wewenang yang bersifat Atributif dan Distributif ( Mandat dan Delegasi) sehingga harus jelas yang mana wewenang Atributif dan yang mana wewenang Distributif agar jelas pertanggung jawaban atas setiap kewenangan tersebut.

Hal ini lah yang kemudian menarik untuk kita angkat sebagai bahan pembelajaran apa kah aparat telah menjalankan wewenangnya dengan benar dan sesuai seperti sifat dari pelimpahan kewenangan itu sendiri dan apakah tergolong Atributif, Mandat, atau Delegasi agar tidak terjadi kekaburan dalam konteks siapa yang harus bertanggung jawab atas kewenangan tersebut.

BAB II

PEMBAHASAN MASALAH

Menurut Hasibuan (2007:64) wewenang adalah kekuasaan yang sah dan legal yang dimiliki seseorang untuk memerintah orang lain, berbuat atau tidak berbuat atau tidak berbuat sesuatu, kekuasaan merupakan dasar hukum yag sah dan legal untuk dapat mengerjakan sesuatu pekerjaan.

Sutarto (2001:141) berpendapat wewenang adalah hak seseorang untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas serta tanggung jawabnya dapat dilaksanakan dengan baik.

Secara teori, kewenangan mempunyai sifat 2 macam yaitu kewenangan yang bersifat atributif dan yang lain adalah bersifat distributif. Kewenangan yang bersifat atributif adalah kewenangan bersifat melekat maksudnya kewenangan yang langsung diberikan oleh undang-undang. Sedangkan kewenangan yang bersifat distributif adalah kewenangan yang misalnya diberikan oleh atasan kepada bawahan dan hanya bersifat sementara.

Adapun perbedaan antara kewenangan atributif dan kewenangan distributif adalah terletak pada pertanggung jawabannya, kewenangan atributif memiliki tanggung jawab yang melekat kepada aparat atau pejabat yang langsung ditunjuk oleh undang-undang. Sedangkan kewenangan distributif terbagi dua yaitu mandat dan delegasi, untuk mandat pertanggung jawabannya melekat pada pemberi wewenang dan untuk delegasi pertanngung jawabannya berpindah kepada si penerima wewenang.

A. Kewenangan Yang Bersifat Atributif

Di lihat dari 2 sifat kewenangan diatas maka wewenang yang dimiliki oleh anggota DPR untuk membuat produk hukum adalah wewenang yang bersifat atributif yang artinya adalah wewenang itu langsung diberikan oleh undang-undang. Dalam hal ini adalah undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah jelas diatur mengenai tugas dan wewenang lembaga DPR dalam pasal 71.

Sesuai pasal 71 (a) membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Artinya disini adalah anggota DPR mempunyai kewenangan atributif dalam menjalankan kewenangannya sesuai undang undang. Dalam hal lain nya pun demikian seperti dalam hal memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang.

Dapat kita lihat bahwa DPR menciptakan produk hukum dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan. Selain menciptakan suatu produk hukum, DPR juga berwenang merubah atau merevisi produk hukum yang sudah ada sebelumnya, dan bahkan DPR jua berwenang untuk menemukan produk hukum artinya DPR berwenang untuk membuat peraturan perundangan yang sebelumnya tidak pernah ada.

Seluruh produk hukum yang kemudian telah resmi diberlakukan hendaknya bertujuan untuk mewujudkan tujuan negara, dalam hal ini tentunya untuk melindungi masyarakat dan memberikan rasa nyaman kepada masyarakat. Namun tidak sedikit pula produk hukum DPR yang kemudian malah dipersoalkan karena dianggap tidak berpihak kepada rakyat atau tidak sesuai dengan tujuan negara.

Sama hal nya dengan DPR yang mempunyai wewenang yang bersifat atributif, Presiden juga mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan produk hukum dalam bentuk Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Instruksi Presiden. Dari beberapa contoh produk hukum oleh Presiden, keseluruhnya adalah kewenangan yang bersifat atributif yang artinya langsung diberikan oleh undang-undang.

Tidak hanya Presiden dan DPR yang memiliki wewenang atributif, lewat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka pemerintah daerah yang didipimpin oleh Kepala Daerah juga memiliki kewenangan tersendiri yang bersifat atributif dalam segala bidang seperti pemerintah pusat kecuali :

a. Politik Luar Negeri

b. Pertahanan

c. Keamanan

d. Yustisi

e. Moneter dan Fiskal Nasional, dan

f. Agama

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka setiap daerah berwenang untuk mengeluarkan peraturan sendiri khusus untuk daerahnya sendiri yang kemudian kita kenal dengan sebutan Peraturan Daerah (PERDA). Setiap Peraturan Daerah tentunya akan dibahas di DPRD bersama dengan Kepala Daerah baik Gubernur maupun Bupati/Walikota sesuai tingkat wilayah pemerintahan masing-masing.

Oleh karena DPRD bersama Kepala Daerah berwenang membuat produk hukum dalam hal ini Peraturan Daerah maka DPRD dan Kepala Daerah dapat dimintai pertanggungjawaban atas produk hukum yang mereka buat karena kewenangan yang mereka miliki bersifat atributif.

Dibidang hukum, seorang Hakim juga memiliki wewenang untuk memutus suatu perkara tentu dengan mempertimbangkan rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Wewenang Hakim bersifat atributif karena langsung diberikan oleh Undang-Undang. Apabila dikemudian hari ada putusan hakim yang ditemukan tidak sesuai dengan yang seharusnya atau tidak memenuhi unsur keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, atau putusan tersebut tidak sesuai Undang-Undang maka Komisi Yudisial dapat memeriksa hakim yang bersangkutan untuk dimintai pertanggung jawabannya.

B. Kewenangan Yang Bersifat Distributif

Kewenangan distributif adalah kewenangan yang diberikan oleh atasan kepada bawahan yang bersifat sementara. Kewenangan distributif terbagi menjadi 2 jenis berdasarkan pertanggung jawaban, yaitu :

1. Mandat

Mandat adalah wewenang yang diberikan oleh atasan kepada bawahan yang mana pertanggung jawabannya tetap melekat pada si pemberi mandat. Pelimpahan bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat yang memberi mandat.

Mandat adalah perintah atau arahan yang diberikan oleh orang banyak (rakyat, perkumpulan, dsb) kepada seseorang (beberapa orang) untuk dilaksanakan sesuai dengan kehendak orang banyak itu. Sehingga contohnya ketika kepala daerah memerintahkan bawahannya mengeluarkan uang daerah untuk suatu kepentingan, maka konsekuensi tanggung jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi mandat (kepala daerah).[1]

Dalam pemberian mandat, pemberi mandat dapat mengunakan kewenangan yang telah diberikannya itu setiap saat, berbeda dengan delegasi yang harus dilakukan pencabutan, yaitu sesuai asas Kontrarius Actus. Mandataris (penerima mandat) tidak dapat memberikan mandat itu kepada oranglain, dengan kata lain mandataris tidak dapat memberikan Sub-Mandat.

Dalam kehidupan kepemerintahan mandat misalnya ketika seorang Kepala Dinas atau Kepala Badan memberikan mandat kepada bawahannya untuk melakukan tugasnya dikarenakan pemberi mandat harus melakukan hal lain. Maka penerima mandat berwenang menjalankan mandat yang diberikan tersebut, namun ketika mandat tersebut telah dilaksanakan secara otomatis mandat tersebut berakhir tanpa harus dikeluarkan surat penarikan mandat.

Contoh lain adalah misalnya ketika Gubernur sedang berada di luar daerah, dan pada saat bersamaan di daerah yang dipimpinnya dia harus memberikan persetujuannya untuk memberikan dana kepada salah satu daerahnya maka dia bisa memberikan mandat kepada Wakil Gubernur atau Sekretaris Daerahnya untuk menandatangani persetujuan tersebut, tentu setelah persetujuan tersebut ditandatangani oleh Wakil Gubernur atau Sekretaris Daerah maka mandat yang diberikan oleh Gubernur tersebut otomatis berakhir dan apabila dikemudian hari terjadi permasalahan dengan keputusan pemberian dana tersebut maka Gubernur langsung lah yang bertanggung jawab.

2. Delegasi

Adapun beberapa definisi Delegasi :
a. Menurut Ralph C. Davis :

Pendelegasian wewenang hanyalah tahapan dari suatu proses ketika penyerahan wewenang berfungsi melepaskan kedudukan dengan melaksanakan pertanggung jawaban.[2]
b. Menurut Louis A. Allen :

Pendelegasian adalah proses yang diikuti oleh seorang manajer dalam pembagian kerja
yang ditimpakan padanya, sehingga ia dapat memperoleh orang-orang lain untuk membantu pekerjaan yang tidak dapat ia kerjakan.[3]

Merujuk pada buku Ilmu Perundang-undangan Jilid 1 karangan Maria Farida Indriati Soeprapto halaman 55-56, dikatakan bahwa:

Delegasi Kewenangan dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan (delegatie van wetgevingsbevoegdheid) ialah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan yang lebih rendah, baik dinyatakan dengan tegas maupun tidak dinyatakan dengan tegas. Pada kewenangan delegasi tersebut tidak diberikan, melainkan “diwakilkan”, dan selain itu kewenangan delegasi ini bersifat sementara dalam arti kewenangan ini dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada”.

Delegasi adalah penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain. Kata penyerahan berarti ada perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegataris).[4] Dilihat dari pertanggung jawabannya Delegasi diiringi dengan penyerahan tanggungjawab sehingga penerima delegasi akan bertanggung jawab penuh atas kewenangan delegasi yang diterimanya.

Ketika penyerahan delegasi dilakukan maka aparat penerima delegasi tersebut berwenang menciptakan suatu produk hukum. Salah satu contoh Delegasi adalah ketika Pemerintah Pusat memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan pada daerahnya masing-masing. Sehingga Pemerintah Daerah bertanggung jawab penuh atas kewenangan delegasi yang diterimanya. Contoh lain adalah ketika Kepala Daerah memberikan kewenangan kepada Kepala Dinas atau Camat untuk menjalankan pelayanan publik dan untuk membuat produk hukum dalam bentuk apapun sesuai dengan tujuan negara.

Adapun perbedaan antara Delegasi dengan Atribusi adalah pada Delegasi kewenangan tersebut hanya diwakilkan, namun tidak diberikan berdasarkan Undang-Undang. Tapi penerima delagasi wajib bertanggungjawab atas segala tindakan dalam kewenangan tersebut.

Berbeda dengan mandat yang tanggungjawabnya otomatis selesai ketika mandat itu telah dilaksanakan, tanggung jawab delegasi berakhir ketika dikeluarkan kan surat atas berakhirnya delegasi tersebut.

BAB III

KESIMPULAN

  1. Setiap lingkup pemerintahan mempunyai aparat-aparat yang berkewenangan untuk menciptakan produk hukum tentunya dengan cara pelimpahan kewenangan yang beragam sehingga harus dipastikan suatu pelimpahan kewenangan harus bersifat atributif,mandat, atau delegasi.
  2. Kewenangan yang bersifat Atributif merupakan kewenangan yang bersifat tetap dan melekat dan bersumber langsung dari Undang-Undang, sehingga setiap aparat yang memiliki kewenangan tersebut wajib dimintai pertanggungjawaban apakah telah menjalankan kewenangan tersebut sesuai tujuan negara kita.
  3. Kewenangan Distributif adalah kewenangan yang diberikan oleh pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah seperti Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah. Namun kewenangan Distributif tersebut dibagi lagi menjadi Mandat dan Delegasi. Perbedaan Mandat dan Delegasi adalah pada petanggungjawabannya, sehingga setiap aparat yang memperoleh kewenangan Delegasi untuk membuat produk hukum harus sesuai dengan tujuan negara dan apabila tidak sesuai dengan rasa keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan, aparat tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban.


[1] Blackgank Ar’oNe, “Atribusi, Kewenangan, Delegasi, Mandat”, diakses dari http://arwanblack74.blogspot.com/2011/06/atribusi-kewenangan-delegasi-dan-mandat.html , pada tanggal 6 Maret 2012 pukul 18.50

[2] Davis Ralph C, “Wewenang, Delegasi, Sentralisasi, Desentralisasi” di akses dari http://wahyu410.wordpress.com/2010/11/07/wewenang-delegasi-sentralisasi-dan-desentralisasi/, pada tanggal 6 Maret 2012 pukul 19.15

[3] Ibid.

[4] Setiawan Yudhi, “Instrumen Hukum Campuran (Gemeenschapelijkrecht) dalam Konsolidasi Tanah”, diakses dari http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/12/22/tantangan-dan-hambatan-konsolidasi-tanah-bagian-iii/, pada tanggal 6 Maret 2012 pukul 19.30

Tidak ada komentar: