Jumat, 05 Oktober 2012

TUGAS POLITIK HUKUM - KENDALA YURIDIS YANG DIHADAPI DALAM MEWUJUDKAN TUJUAN NEGARA INDONESIA


BAB I
LATAR BELAKANG

Setengan abad lebih Indonesia merdeka, pertanyaan besar nya adalah “apakah tujuan negara Indonesia sudah dicapai?”. Melihat dari keadaan negara kita saat ini tentu saja dapat dikatakan masih jauh kita dari capaian tujuan negara yang diharapkan. Berbagai faktor menghambat jalan untuk mencapai tujuan negara, dari faktor sosiologis sampai faktor yuridis.
Ketika bicara yuridis maka kita bicara segi-segi hukum, hukum yang baik akan menuntun kita kearah tujuan negara. Kita sebagai negara hukum tentu harus menjadikan hukum itu sendiri sebagai panglima. Dalam pembuatan suatu produk hukum, bukan rahasia umum lagii bahwa yang membuat hukum itu adalah para politisi-politisi.
Maka dengan hukum dibuat oleh orang-orang politik maka apakah masih bisa disebut bahwa hukum sebagai panglima.
Dalam tulisan ini akan dijabarkan beberapa faktor yuridis yang mempengaruhi dan menghambat dalam mewujudkan tujuan negara.



BAB II
PEMBAHASAN

A.     TUJUAN NEGARA
Setiap negara tentu memiliki tujuannya masing-masing. Berbagai kendala tentu akan timbul selama pencapaian tujuan negara tersebut, baik kendala internal maupun kendala eksternal. Masalah sosiologis dan yuridis suatu negara pun angat mempengaruhi dalam perwujudan tujuan negara tersebut.
Tujuan negara pada umumnya didasarkan pada cita-cita atau tujuan negara. Misalnya, tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Lembaga-lembaga yang berada dalam satu system pemerintahan Indonesia bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya tujuan dari pemerintahan di negara Indonesia.[1]


Rumusan tujuan sangat penting bagi suatu negara yaitu sebagai pedoman :
1.    Penyusunan negara dan pengendalian alat perlengkapan negara.
2.    Pengatur kehidupan rakyatnya.
3.    Pengarah segala aktivitas–aktivitas negara.
Setiap negara pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan Undang–Undang Dasarnya. Tujuan masing–masing negara sangat dipengaruhi oleh tata nilai sosial, kondisi geografis, sejarah pembentukannya serta pengaruh politik dari penguasa negara. Secara umum negara mempunyai tujuan antara lain sebagai berikut :
1.    Memperluas kekuasaan semata
2.    Menyelenggarakan ketertiban umum
3.    Mencapai kesejahteraan umum.[2]

Tujuan Negara dapat disebut juga sebagai tujuan nasional, tujuan nasional adalah sasaran segala kegiatan suatu bangsa yang perwujuannya harus diusahakan secara terus rnenerus. Tujuan nasional bangsa Indonesia tercantum dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahtetaan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.[3]

B.     FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TUJUAN NEGARA
1)      PERATURAN
Salah satu tujuan negara yang dapat kita tangkap dari Pembukaan Undang-Undang dasar 1945 adalah untuk mensejahterakan rakyat. Untung mendukung kelancaran tersebut maka negara dalam hal ini pemerintah berwenang membuat suatu peraturan sebagai alat untuk mengontrol masyarakat. Dengan peraturan yang baikmaka kesejahteraan akan dicapai. Peraturan yang baik adalah peraturan yang memenuhi asas :
ü  Kepastian Hukum
ü  Kemanfaatan
ü  Keadilan
2)      KETAATAN ASAS
Begitu berarti nya suatu asas akan sia-sia apabila tidak ditaati dengan secara benar. Ketika suatu produk hukum telah memenuhi asas-asas hukum maka secara teori produk hukum tersebut bagus.
3)      EKSEKUTOR
Ditahap ini lah Asas dan Peraturan-peraturan yang sudah dibuat akan dikatakan bermanfaat atau tidak. Ketika peraturan dengan asas nya tersebut di eksekusi dengan tidak benar tentu akan menimbulkan akibat buruk untuk masyarakat, dan ini jelas akan bertentangan dengan tujuan negara.
Pada fase reformasi terjadi dua kali perubahan dalam peraturan yang mengatur otonomi daerah, yaitu UU No 22 1999 diubah dengan UU No 32 tahun 2004. Otonomi daerah mengenal tiga asas yaitu :
1. Asas Dekonsentrasi
Indonesia sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 1 UUD 1945 dinyatakan bahwa Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik dan sekaligus Bentuk Negara kesatuan adalah bentuk negara yang bersifat final yang diharapkan oleh rakyat Indonesia secara menyeluruh, disamping bentuk-bentuk Negara alternatif lain. Hal ini diatur secara rigit dalam pasal 37 ayat 5 UUD 19451. Hubungan yang muncul dalam Negara kesatuan adalah hubungan yang bersifat hirarkis-vertical antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota. Pembagian urusan antara pemeritah daerah dan ppemerintah pusat bisa dilihat dari bab III pasal 10 UU No 32 tahun 2004. Klausa yang ada dalam pasal 1 tersebut mengatakan bahwa Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Kemudian pada pasal selanjutnya Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dari klausa “Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah”. Secara substansial klausa ini mengatakan bahwa kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah diatur secara jelas dan rigid. Pembagian tersebut memang terbukti demikian dengan meninjau pasal selanjutnya maka akan terlihat betapa kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah menjadi sejajar dalam mengelelola daerah. Pasal 10 ayat 4 megatur kewenangan pemerintah pusat tersebut sebagai berikut:
a.       politik luar negeri;
b.      pertahanan;
c.       keamanan;
d.      yustisi;
e.       moneter dan fiskal nasional; dan
f.       agama.
Dan kewenangan pemerintah diluar 6 poin tersebut dilaksanakan dengan, menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
a.       melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau
b.      menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Sedangkan klausa yang mengatur mengenai kewenangan daerah diatur dalam pasal 13 ayat 1 dan pasal 14 ayat 1 UU No 32 tahun 2004. Dari penjelasan diatas susunan, komposisi peraturan menurut penulis bertentangan satu sama lain dengan asas dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi menyatakan bahwa keberadaan kewenangan berada dipemerintah pusat kemudian kewengan tersebut didistribusikan keperintah daerah. Sedangkan pada klausa-klausa aturan diatas tidak demikian adanya pengaturan-pengaturan secara jelas hak dan wewenang baik pemerintah pusat maupun daerah membuktikan bahwa keberadaan asas dekonsentrasi tidak bermakna, itu yang pertama. Yang kedua, asas dekonsentrasi merupakan asas perekat bentuk negara kesatuan akan tetapi akibat pembagian kewenangan tersebut akhirnya konsep kesatuan diciderai. Karena, Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah secara ketat merupakan sebuah konsep negara ferderal, dan ini sejak semula tidak diinginkan oleh masyarakat indonesia..
2. Asas Desentralisasi
Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Asas ini memiliki semangat bahwa pemerintah daerah dianggap mampu untuk melaksanakan pemerintahan sendiri, ini terbukti dari kata penyerahan. Kata ini juga membuktikan bahwa kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus dibagi karena daerah sudah dianggap mampu untuk melaksanakan pemerintahan sendiri. Secara pengertian antara dekonsentrasi dan desentralisasi seakan-akan tidak ada masalah akan tetapi apabila ditinjau lebih mendalam kepada peraturan yang mengatur persoalan tersebut, maka akan terlihat betapa benturan tersebut terjadi. Benturan tersebut berasal dari tujuan dasar keberadaan asas desentralisasi dan dekonsentrasi. Asas desentralisasi lebih bermuatan federalistik sedangkan asas dekonsentrasi lebih bermuatan keasatuan. Hal ini bisa dilihat dari pemebagian-pembagian kewenangan yang ada dalam UU otonomi daerah lebih mendekati kepada prinsip desentralisasi.
3.Asas Tugas Pembantu
Mengiringi kedua asas diatas terdapat satu asas lagi yaitu asas tugas pembantu. Asas ini mengandung pengertian, adanya penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Asas ini dalam UU 32 tahun 2004 ditempatkan pada pasal 10 ayat 5 poin c, dalam sebuah klausal “menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan”. Ketentuan ini dilaksanakan untuk mengatisipasi pabila terjadi hal-hal yang tidak di inginkan dalam sebuah pemerintahan, sedangkan penangananya harus segera dilaksanakan. keberadaan ketentuan ini sangat minim dalam peratuaran, akan tetapi dibandingkan dengan asas desentralisasi, asas ini lebih dapat diterima oleh prinsip pemrintahan daerah dalam negara kesatuan. karena asas ini tetap menempatkan pemerintah pusat sebagai tolak ukur dalam sebuah kebijakan. Dan pemerintah daerah merupakan subdivisi dari pemerintah pusat untuk melaksanakan fungsi-fungsi dan kebijakan-kebijkan yang dibuat oleh pemerintah pusat.
Dari ketiga asas diatas maka penulis berpendapat bahwa dengan wilayah negara yang sangat luas dan keadaan yang berbeda pada setiap daerah maka sulit rasanya apabila mengharapkan tujuan negara dapat dicapai dengan sempurna mengingat setiap daerah diberi kewenangan untuk menjalankan pemerintahan sendiri (dalam hal tertentu) sehinggga daeraah berpeluang memajukan daerahnya masing tentu saja dengan sedikit mengenyampingkan tujuan negara yang sesungguhnya.





BAB III
KESIMPULAN

1.      Bahwa faktor yuridis sangat mempengaruhi dalam pencapaian tujuan negara pada saat ini, berkaitan dengan kualitas suatu produk hukum, berkaitan dengan ketaatan terhadap asas-asas hukum itu sendiri, dan paling dipengaruhi oleh eksekusi dari peraturan-peraturan yang telah dibuat.
2.      Bahwa dengan adannya  otonomi daerah secara tidak langsung setiap daerah berkeinginan untuk memajukan daerahnya masing, dengan masih ditemukannya daerah-daerah yang belum mendapat kehidupan yang layak, tentu saja berbanding terbalik dengan daerah-daerah besar yang mempunyai pemasukan yang besar.


[1] Chandra Yudiana E, Sistem Pemerintahan Indonesia, dalam http://41707011.blog.unikom.ac.id/sistem-pemerintahan.1ay, pada tanggal 23 april 2012 pukul 07.08

[2]Pengertian Fungsi dan Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam http://dieks2010.wordpress.com/2010/08/27/pengertian-fungsi-dan-tujuan-negara-kesatuan-republik-indonesia/, pada tanggal 23 april 2012 pukul 06.54

[3] Ino Putro, Tujuan Nasional Bangsa Indonesia, dalamhttp://www.inoputro.com/2011/08/tujuan-nasional-bangsa-indonesia/, pada tanggal 23 april 2012 pukul 06.48

TUGAS POLITIK HUKUM - TINJAUAN YURIDIS TENTANG SISTEM PENGAWASAN TERHADAP APARAT YANG BERWENANG MEMBUAT PRODUK HUKUM


BAB I
LATAR BELAKANG

Dalam hal pembentukan suatu produk hukum baik yang berupa keputusan (beschikking) atau pun dalam bentuk peraturan (regelling) setiap aparat yang berwenang harus membuatnya berdasarkan ketentuan dan amanah yang diberikan. Suatu produk hukum harus memberikan rasa keadilan, kemanfaatan, kepastian kepada masyarakat.
Dalam proses pembuatannya, suatu produk hukum harus diawasi dan dikerjakan kemudian disusun dengan benar, sehingga tidak melanggar suatu aturan dan tidak melanggar suatu kepatutan. Produk hukum harus lah bersifat objektif, artinya suatu produk hukum tidak membedakan pelaku kejahatan, setiap orang yang berlaku jahat harus dikenakan hukuman sesuai ketentuannya masing-masing, suatu produk hukum dibuat bukan untuk melindungi atau membela si pelanggar undang-undang.
Semua produk hukum, baik berupa keputusan maupun peraturan, mulai dari tingkat tertinggi hingga tingkat terendah wajib diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam proses pembentukan dan pelaksanaannya, agar tidak terjadi peyelewengan kekuasaan oleh lembaga negara yang berwenang untuk melakukan pembentukan produk hukum tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN

Ketika kita bicara tentang pengawasan terhadap aparat yang berwenang dalam pembuatan produk hukum, maka kita bicara tentang pembagian tanggung jawab itu sendiri.
Misalnya oleh anggota DPR untuk membuat produk hukum adalah wewenang yang bersifat atributif yang artinya adalah wewenang itu langsung diberikan oleh undang-undang. Tanggung jawab dalam kewenangan yang bersifat atributif adalah pada si penerima wewenang. Kemudian adapula Kewenangan distributif adalah kewenangan yang diberikan oleh atasan kepada bawahan yang bersifat sementara. Kewenangan distributif terbagi menjadi 2 jenis berdasarkan pertanggung jawaban, yaitu Mandat, Mandat adalah wewenang yang diberikan oleh atasan kepada bawahan yang mana pertanggung jawabannya tetap melekat pada si pemberi mandat. Pelimpahan bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat yang memberi mandat. Selanjutnya ada Delagaasi, menurut Ralph C. Davis : Pendelegasian wewenang hanyalah tahapan dari suatu proses ketika penyerahan wewenang berfungsi melepaskan kedudukan dengan melaksanakan pertanggung jawaban.[1] Delegasi adalah penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain. Kata penyerahan berarti ada perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegataris).[2] Dilihat dari pertanggung jawabannya Delegasi diiringi dengan penyerahan tanggungjawab sehingga penerima delegasi akan bertanggung jawab penuh atas kewenangan delegasi yang diterimanya.

A.     Bentuk Produk-Produk Hukum
Indonesia adalah negara hukum (rechstaat). Dalam negara hukum, pemerintah sebagai pemegang tampuk kekuasaan negara berwenang untuk membentuk semua produk hukum yang dirasa perlu untuk diciptakan guna mengatur masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemerintah berwenang untuk menelurkan produk hukum baik yang berbentuk keputusan (beschikking) maupun peraturan (regelling).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adapun hierarki  peraturan perundangan adalah :
1.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3.      Undang-Undang / Peraturan Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang;
4.      Peraturan Pemerintah;
5.      Peraturan Presiden;
6.      Peraturan Daerah Provinsi;dan
7.      Peraturan Daerah Kabupaten Kota
B.     Jalur Pengawasan Terhadap Produk Hukum
Pengawasan terhadap lembaga-lembaga yang berwenang untuk membentuk keputusan dan peraturan perundang-undangan dilaksanakan dengan beberapa jalur, yaitu :
1.      Jalur politik (political control)
·         Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah terhadap proses pembentukan produk hukum yang penting dan strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
·         Hak angket adalah hak DPR untuk mengadakan penyelidikan terhadap proses pembentukan dan pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan eraturan perundangan-undangan yang ada.
·         Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air dan di dunia internasional serta upaya tindak lanjut terhadap pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.



2.      Jalur masyarakat (social control)
Salah satu contohnya adalah melalui unjuk rasa, misalnya unjuk rasa dalam hal penolakan kenaikan harga BBM, kemudian unjuk rasa buruh dalam memkinta kenaikan gajih minimum, dll. Pada umumnya demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat tidak berhasil mencapai apa yang yang didemokan, bahkan mendapatkan perhatian dari pemerintah pun tidak.
3.      Jalur administratif (administrative/internal control)
Misalnya pengawasan yang dilakukan oleh badan-badan di dalam pemerintah sendiri, seperti Inspektorat Jenderal (Irjen) dan Inspektorat Wilayah Provinsi (Itwilprov).



4.      Jalur hukum (judicial control)
Keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang dapat diawasi atau disidangkan di Peradilan Tata Usaha Negara, Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengawasi proses penyusunan dan pelaksanaan suatu undang-undang dan Mahkamah Agung (MA) untuk mengawasi proses penyusunan dan pelaksanaan peraturan perundangan yang derajat hierarkinya dibawah undang-undang. Pengawasan melalui jalur hukum hanya dapat dilakukan terhadap produk hukumnya, sedang proses penyusunan produk hukumnya tidak dapat dilakukan pengawasan.
5.      Jalur ombudsman (ombudsman control)
Pengawasan oleh lembaga ombudsman mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2004 berdasarkan Keputusan Presiden. Dalam penerapannya, Indonesia mengadopsi banyak ketentuan-ketentuan hukum mengenai lembaga ombudsman dari negara Swedia. Lembaga ombundsman di Indonesia memiliki beberapa fungsi, beberapa diantara adalah menerima pengaduan dari masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemerintah dan menjadi tim advokasi bagi masyarakat dalam upaya menggugat pemerintah melalui jalur pengadilan.
6.      Jalur independen (independents control/not government organization)
Pengawasan independen di Indonesia misalnya dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Namun di Indonesia, pengawasan melalui jalur independen tidak mendapat tempat yang baik di mata pemerintah, bahkan seringkali tidak mendapat tanggapan apapapun dan dianggap angin lalu oleh pemerintah.




















BAB III
KESIMPULAN

1.      Bahwa dalam menentukan tanggungjawab dalam hal menciptakan suatu produk hukum maka harus dilihat dulu jenis kewenangan yang diberikan.
2.      Bahwa setiap sistem pengawasan memiliki kelebihan dan kekurangan masing.
3.      Bahwa dalam sistem negara pada saat ini, sangat mungkin menjalankan sistem pengawasan dengan 6 jalur berbeda.














DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


Bahan Dari Internet :









[1] Davis Ralph C, “Wewenang, Delegasi, Sentralisasi, Desentralisasi” di akses dari http://wahyu410.wordpress.com/2010/11/07/wewenang-delegasi-sentralisasi-dan-desentralisasi/, pada tanggal 6 Maret 2012 pukul 19.15
[2] Setiawan Yudhi, “Instrumen Hukum Campuran (Gemeenschapelijkrecht) dalam Konsolidasi Tanah”, diakses dari http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/12/22/tantangan-dan-hambatan-konsolidasi-tanah-bagian-iii/, pada tanggal 6 Maret 2012 pukul 19.30

TUGAS POLITIK HUKUM - TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERBUATAN HUKUM YANG BERSIFAT SEPIHAK DALAM MENCIPTAKAN SUATU PRODUK HUKUM


 BAB I
PERMASALAHAN

Aparat yang berwenang dalam hal ini Lembaga Legislatif, Eksekutif, bahkan Yudikatif sekalipun mempunyai hak dalam mengeluarkan suatu produk hukum. Namun dalam hal kewenangan aparat hukum ini untuk membuat suatu produk hukum, masyarakat tidak mempunyai wewenang atau hak untuk turut serta dalam pembuatan produk hukum tersebut.
Dari hal diatas dapat dikatakan bahwa produk hukum tersebut bersumber pada Perbuatan Hukum yang Bersifat Sepihak. Hal ini merupakan suatu nilai yg kurang bagus dalam proses terciptanya suatu produk hukum.
Secara garis besar mungkin dapat dikatakan dalam menciptakan produk hukum, masyarakat diwakilkan oleh para anggota Legislatif, dan tentunya kita jangan lupa bahwa para anggota Legistalif yang menjadi wakil kita mereka juga menjalankan politik hukum yang artinya politik dimana semua kepentingan dan kebutuhan suatu kelompok selalu menjadi pertimbangan dan itu lah yang mempengaruhi baik buruknya suatu produk hukum.
Dalam hal ini pemerintah berwenang mengeluarkan suatu produk hukum yang berupa Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat sepihak, artinya disini adalah pemerintah secara mutlak berwenang untuk mengeluarkan keputusan itu tanpa adanya campur tangan dari pihak kedua.


BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
Dalam kaitannya dengan perbuatan hukum bersegi satu, negara dalam hal ini pemerintah menjalankan fungsinya sebagai fungsi yuridis, negara harus menjamin adanya rasa keadilan dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini negara berkewajiban untuk mengatur tata bernegaa dan tata bermasyarakat, agar supaya konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat diselesaikan menurut kriteria yang telah hidup dan diakui kebenarannya oleh masyarakat itu sendiri, yakni kriteria hukum.[1]
PERBUATAN PEMERINTAH
Perbuatan hukum pemerintah dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
A.    Perbuatan hukum menurut Hukum Privat
Administrasi negara sering juga mengadakan hubungan-hubungan hukum dengan subyek hukum-subyek hukum lain berdasarkan hukum privat seperti sewa menyewa, jual beli dan sebagainya. Berkaitan dengan ini ada dua pendapat yang menanggapi tentang diperbolehkannya administrasi negara mengadakan hubungan hukum berdasarkan hukum privat. Pendapat yang pertama bahwa administrasi negara dalam menjalankan tugas pemerintahan tidak dapat menggunakan hukum privat dengan alasan sifat hukum privat itu mengatur hubungan hukum yang mengatur hubungan kehendak dua belah pihak dan bersifat perorangan. Sedangkan hukum administrasi negara merupakan bagian dari hukum publik yang merupakan hukum untuk bolehnya tindakan atas kehendak satu pihak.
Pendapat yang kedua yaitu administrasi negara dalam menjalankan tugasnya dalam beberapa hal dapat juga menggunakan hukum privat, tetapi untuk menyelesaikan suatu soal yang khusus dalam lapangan administrasi negara telah tersedia peraturan-peraturan hukum publik.
B.     Perbuatan hukum menurut Hukum Publik
Beberapa sarjana seperti S. Sybenga hanya mengakui adanya perbuatan hukum publik yang bersegi satu, artinya hukum publik itu lebih merupakan kehendak satu pihak saja yaitu pemerintah. Menurut mereka tidak ada perbuatan hukum publik yang bersegi dua, tidak ada perjanjian, misalnya yang diatur oleh hukum publik. Jika ada perjanjian dengan pihak swasta maka perjanjian itu menggunakan hukum privat, karena itu merupakan perbuatan hukum bersegi dua karena dilakukan oleh kehendak kedua belah pihak dengan sukarela. Itulah tidak ada perjanjian hukum publik, karena hubungan hukum yang diatur hukum publik hanya berasal dari satu pihak saja yakni pemerintah dengan cara menentukannya dengan kehendaknya sendiri.

TINDAKAN PEMERINTAH BERSEGI SATU MENURUT HUKUM PUBLIK
Perbuatan Hukum Publik bersegi satu ini dikenal dengan nama keputusan (beschikking). Beberapa sarjana seperti S. Sybenga hanya mengakui adanya perbuatan Hukum Publik yang bersegi satu, artinya Hukum Publik itu lebih merupakan kehendak satu pihak saja yaitu pemerintah. Menurut mereka tidak ada perbuatan Hukum Publik yang bersegi dua, tidak ada perjanjian, misalnya yang diatur oleh Hukum Publik. Jika ada perjanjian dengan pihak swasta maka perjanjian itu menggunakan Hukum Privat, karena itu merupakan perbuatan hukum bersegi dua karena dilakukan oleh kehendak kedua belah pihak dengan sukarela. Itulah tidak ada perjanjian Hukum Publik, karena hubungan hukum yang diatur Hukum Publik hanya berasal dari satu pihak saja yakni pemerintah dengan cara menentukannya dengan kehendaknya sendiri.
Keputusan tata usaha negara (beschikking) oleh E. Utrecht disebut sebagai ‘ketetapan’, sedangkan Prajudi Atmosudirdjo menyebutnya dengan ‘penetapan’. E. Utrecht, Prins, dan Van der Pot, juga menjelaskan bahwa beschikking merupakan perbuatan Hukum Publik bersegi satu atau merupakan perbuatan sepihak dari pemerintah dan bukan merupakan hasil persetujuan dua belah pihak.
Berangkat dari beberapa pendapat tersebut S.F. Marbun menyimpulkan bahwa beschikking ialah suatu perbuatan Hukum Publik bersegi satu, yang dilakukan oleh alat pemerintah (dalam arti sempit) berdasarkan suatu kekuasaan atau wewenang istimewa dengan maksud terjadinya perubahan hubungan hukum.
Beschikking menurut UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dari definisi menurut UU Nomor 5 Tahun 1986 tersebut dapat dirumuskan unsur-unsur keputusan sebagai berikut, yaitu:
  • Penetapan tersebut tertulis dan dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha  Negara,
  • Berisi tindakan hukum dalam bidang Tata Usaha Negara,
  • Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
  • Bersifat konkrit, individual, dan final,
  • Serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan Hukum Perdata.
Dengan dasar pemikiran yang demikian, maka ketetapan berfungsi menetapkan situasi hukum yang konkrit dan mempunyai akibat hukum bagi yang dikenai ketetapan tersebut.
1.      Pengertian
Dalam Perbuatan pemerintah ada dua hal persoalan yang perlu dipahami yaitu :
a.       Apa yang dimaksud dengan pemerintah dan
b.       Apa yang dimaksud dengan perbuatan pemerintah.
Yang dimaksud dengan pemerintah adalah : Menurut Wirjono Prodjodikoro, pemerintah dapat dibagi dalam arti luas dan dalam arti sempit. Pemerintah dalam arti luas meliputi seluruh fungsi kegiatan kenegaraan yaitu lembaga-lembaga kenegaraan yang diatur secara langsung oleh UUD 1945 maupun lembaga-lembaga yang diatur oleh Undang-Undang. Sedangkan pemerintah dalam arti sempit adalah Presiden/eksekutif. Menurut Kuntjoro Purbopranoto mengatakan pemerintah dalam arti luas meliputi segala urusan yang dilakukan oleh Negara dalam rangka penyelenggaraan kesejahteraan rakyat dan kepentingan Negara, sedangkan arti sempit adalah menjalankan tugas eksekutif saja.
Perbuatan pemerintah merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Berikut beberapa definisi menurut para ahli ;
·         Menurut Romijen, perbuatan pemerintah yang merupakan “ bestuur handling “ yaitu tiap-tiap dari alat perlengkapan pemerintah.
·         Menurut Van Vallen Hoven, perbuatan pemerintah merupakan tindakan secara spontan atas inisiatif sendiri dalam menghadapi keadaan dan keperluan yang timbul tanpa menunggu perintah atasan, dan atas tanggung jawab sendiri demi kepentingan umum.
2.      Macam-Macam Perbuatan Pemerintah
Perbuatan pemerintah berdasarkan fakta atau tidak berdasarkan hukum adalah tindakan penguasa yang tidak mempunyai akibat hukum, misalnya Walikota mengundang masyarakat untuk menghadiri 17 agustus, Presiden menghimbau masyarakat untuk hidup sederhana dan lain-lain.
Perbuatan pemerintah berdasarkan hukum ( Recht Handilugen ) adalah tindakan penguasa yang mempunyai akibat hukum, ini dapat digolongkan dalam dua golongan, yaitu :
·         Perbuatan pemerintah dalam lapangaan hukum privat, dimana penguasa mengadakan hubungan hukum berdasarkan hukum privat. Menurut Prof. Krobbe Kranenburg, Vegtig, Donner dan Hassh, bahwa pejabat administrasi Negara dalam menjalankan tugasnya dalam hal-hal tertentu dapat menggunakan hukum privat, umpanya perbuatan sewa-menyewa, jual-beli tanah dan perjanjian-perjanjian lainnya.
·         Perbuatan pemerintah dalam lapangan Hukum Publik
Perbuatan hukum dalam lapangan Hukum Publik ada dua macam, yaitu :
ü  Perbuatan Hukum Publik bersegi dua, yaitu adanya dua kehendak/ kemauan yang terikat, misalnya dalam perjanjian/kontrak kerja. Mengenai hal ini ada beberapa sarjana yang menentang adanya perbuatan hukum bersegi dua missal Meijers Cs mengatakan bahwa tidak ada persesuaian kehendak antara para pihak.
ü  Perbuatan Hukum Publik bersegi satu, yaitu perbuatan yang dilakukan atas kehendak dari satu pihak yaitu perbuatan dari pemerintah itu sendiri.
3.      Unsur-unsur Perbuatan Pemerintahan
Berdasarkan pengertian diatas tampak beberapa unsur yang terdapat didalamnya sebagai berikut :
a.    Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat pemerintahan dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri
b.    Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan
c.    Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi.
d.    Perbuatan tersebut menyangkut pemeliharaan kepentingan Negara dan rakyat.
e.    Perbuatan itu harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

CARA-CARA PELAKSANAAN PERBUATAN PEMERINTAH
Menurut E. utrech tindakan pemerintahan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
1.        Yang bertindak ialah administrasi Negara sendiri.
2.        Yang bertindak ialah subyek hukum ( = badan hukum) lain yang tidak termasuk administrasi Negara dan yang mempunyai hubungan istimewa atau hubungan bisaa dengan pemerintah.
3.        Yang bertindak ialah subyek hukum lain yang tidak termasuk administrasi Negara dan yang menjalani pekerjaannya berdasarkan suatu konsesi atau berdasarkan izin (vergunning) yang diberikan oleh pemerintah.
4.        Yang bertindak ialah subyek hukum lain yang tidak tremasuk administrasi Negara dan yang deberi subsidi pemerintah.
5.        Yang bertindak ialah pemerintah bersama-sama dengan subyek hukum lain yang bukan administrasi negara dan kedua belah pihak itu bergabung dalam bentuk kerjasama (vorm van samenwerking) yang di atur oleh hukum perivat.
6.        Yang bertindak ialah yayasan yang didirikan oleh pemerintah atau diawasi pemerintah.
7.        Yang bertindak ialah subyek hukum lain yang bukan administrasi Negara tetapi diberi suatu kekuasaan memerintah (delegasi perundang-undangan)
Pada dasarnya semua tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka tindakan tersebut tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan peraturan yang bersangkutan. Dalam hal ini pemerintah memiliki kedudukan yang khusus (de overhead als bijzonder persoon), sebagai satu-satunya pihak yang diserahi kewajiban untuk mengatur dan menyelenggarakan kepentingan umum dimana dalam rangka melaksanakan kewajiban ini kepada pemerintah diberikan wewenang membuat peraturan perundang-undangan, menggunakan paksaan pemerintahan, atau menerapkan sanksi-sanksi hukum.
Pemerintah juga mempunyai kedudukan yang tidak dimiliki oleh seseorang ataupun badan hukum perdata, ini menyebabkan hubungan hukum antara pemerintah dengan seseorang dan badan hukum perdata bersifat ordinatif. Tetapi meskipun hubungan hukumnya bersifat ordonatif, pemerintahan tidak dapat melakukan tindakan hukum secara bebas dan semena-mena terhadap warga Negara.
Perbuatan administrasi negara yang disebut juga bestuur handeling/overheids handeling adalah perbuatan yang dilakukan oleh alat pemerintah/penguasa dalam tingkat tinggi dan rendahan secara spontan dan mandiri (zelfstanding) untuk pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.
Dalam hal ini kita harus membedakan antara perbuatan hukum administrasi negara (recht handelingen) dan perbuatan yang bukan perbuatan hukum (feitelijke handeligen). Perbedaannya adalah terdapat atau tidaknya akibat hukum dan perbuatan pemerintah termaksud. De Haan cs (Bestuursrecht in sociale rechtstaat) menyebutkan sebagai perbuatan materiil atau tindakan nyata. De Haan (1986:113) menyebutkan perbedaan antara keduanya ialah bahwa dalam perbuatan hukum ada maksud untuk melakukan akibat hukum, sedangkan perbuatan materiil tidak  punya maksud itu.
Dalam melakukan aktifitasnya, pemerintah melakukan dua macam tindakan, tindakan biasa (feitelijkehandelingen) dan tindakan hukum (rechtshandelingen). Dalam kajian hukum, yang terpenting untuk dikemukakan adalah tindakan dalam katagori kedua, rechtshandelingen.
Tindakan hukum pemerintahan adalah tindakan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan.
Tindakan pemerintahan memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut:
·         Perbuatan itu dilakukan oleh aparat Pemerintah dalam kedudukannya sebagai Penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs-organen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;
·         Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;
·         Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi
·         Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.
Menurut van Vollenhoven, tindakan pemerintah adalah pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat secara spontan dan tersendiri oleh penguasa tinggi dan rendahan.
Menurut van Poelje, tindakan pemerintah adalah tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan fungsi pemerintahan, sedangkan menurut Romeijn adalah tiap-tiap tindakan atau perbuatan dari satu alat administrasi negara yang mencakup juga perbuatan atau hal-hal yang berada di luar lapangan hukum tata pemerintahan, peradilan dan lain-lain dengan maksud menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum administrasi.
Yang relevan dalam tindakan hukum TUN adalah unsur-unsur sebagai berikut:
a.         Tindakan hukum publik
b.        Bersifat sepihak
c.         Konkret
d.        Individual
Tindakan hukum yang demikian disebut Beschikking (ketetapan atau keputusan).



MACAM-MACAM TINDAKAN HUKUM PUBLIK BERSEGI SATU YANG DILAKUKAN PEMERINTAH
ü  Ketetapan atau Keputusan (Beschikking)
Istilah ketetapan di Belanda dikenal dengan nama “beschikking” merupakan suatu wujud dari tindakan hukum publik bersegi satu yang dilakukan oleh pemerintah. Menurut Van Der Pot dan Van Vollenhoven, ketetapan adalah suatu tindakan hukum yang bersifat sebelah pihak, dalam lapangan pemerintahan dilakukan oleh suatu badan Pemerintah berdasarkan kekuasaan istimewa.
Menurut UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pasal 1 angka 3 menyebutkan :
“ Keputusan Tata Usaha adalah suatu penetapan tertulis yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara (TUN) yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Dengan definisi yang diberikan UU No. 5 Tahun 1986 ini, maka hanya penetapan tertulis saja yang dapat digugat di pengadilan TUN dengan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Ø  Konkret, artinya  objek yang diputuskan tidak abstrak tapi berwujud tertentu atau dapat ditentukan, misalnya keputusan pemberian izin mendirikan bangunan (IMB) untuk si A.
Ø  Individual, artinya keputusan TUN tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu, baik nama, alamat maupun hal yang dituju.
Ø  Final, artinya sudah definitif, tidak lagi memerlukan persetujuan atasan dan karenanya menimbulkan akibat hukum.
Ø  Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Walau demikian ketetapan yang ada bukan hanya ketetapan tertulis, tetapi ada juga ketetapan tidak tertulis atau lisan. Ketetapan lisan hanya dapat dibuat bila:
  • Tidak  membawa akibat yang kekal
  • Tidak begitu penting bagi administrasi negara
  • Dikehendaki suatu akibat yang timbul dengan segera
Ketetapan tertulis lebih sering digunakan dengan alasan kebiasaan, di mana apabila ketetapan tersebut dibuat secara tertulis maka dapat lebih memberikan kepastian hukum. Ketetapan tertulis harus berisikan:
  • Badan atau pejabat yang mengeluarkan
  • Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan
  • Kepada siapa ditujukan dan apa yang ditetapka di dalamnya jelas bersifat individual, konkret dan final
  • Menimbulkan suatu akibat hukum bagi seseorang atau suatu badan hukum perdata


[1] Muchsan, SH. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia. Yogyakarta : Liberty, hal 3