Sabtu, 17 Maret 2012

Sepercik Identitas Kalimantan Selatan




Urut dari atas : Jembatan Rumpiang, Marabahan KalSel - Jembatan Barito KalSel - Mesjid Agung Al-Qaromah Martapura KalSel
Semua diambil dengan menggunakan camera DSLR Canon 5D Mark II dengan Lensa Canon EF 17-40mm F.4

Rumah Banjar


foto ini merupakan hasil kebanggaan saya terhadap asal daerah saya, Martapura, KalSel. bangunan rumah ini masih terpelihara keasliannya dan ini menurut saya merupakan aset untuk anak cucu kita nanti.
foto ini diambil dengan menggunakan Camera DSLR Canon 5D mark II dengan lensa Canon EF 17-40mm f.4

Tugas Mata Kuliah Politik Hukum - TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERANAN FILSAFAT PANCASILA DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL

BAB I

PERMASALAHAN

Indonesia merupakan negara yang berbudaya dan beradab begitu pula dengan masyarakatnya, setiap nilai dan norma yang ada dimasyarakat suatu daerah memang berbeda dengan masyarakat daerah lainnya namun setiap masyarakatnya begitu menaati dan menghormati setiap nilai dan norma di daerahnya. Begitu majemuknya masyarakat Indonesia dengan berbagai agama, kepercayaan, suku dan adat istiadat justru menjadikan masyarakat Indonesia semakin bersatu.

Dalam bidang pemerintahan tentunya segala tugas dan kewenangan aparat diharapkan selalu berasas kan Pancasila, sehingga dalam menciptakan sebuah produk hukum selalu bernafaskan Pancasila sebagai dasar negara kita.

Dengan begitu banyaknya kewenangan yang dimiliki aparat dari tingkat pusat hingga tingkat daerah maka dikhawatirkan aparat yang berwenang menciptakan produk hukum ini akan terpengaruh faktor-faktor di luar hukum yang bertentangan dengan jiwa Pancasila.

BAB II

PEMBAHASAN MASALAH

Proklamasi kemerdekaan Indonesia melahirkan Pembukaan UUD 1945, sebagai anak kandungnya yang didalamnya terkandung cita-cita luhur, pencetusan dari jiwa/semangat pancasila sebagai titik kulminasi dari tekad bangsa untuk merdeka.[1] Undang-Undang Dasar 1945 memang tidak secara langsung menyampaikan bahwa kita harus menaati amanah nilai dari sila-sila Pancasila, namun secara menyeluruh tujuan dan makna Pancasila sesungguhnya terkandung didalam setiap pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945. Maka seluruh Undang-Undang yang ada sampai saat ini harus dan selalu berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Refleksi nilai-nilai Pancasila dapat kita lihat dalam sosial budaya kita sehari-hari karena the founding father merumuskan pancasila dari hasil perenungan jiwa yang mendalam.

Pancasila adalah suatu sintetis atau perpaduan, suatu sintesis antara dasar-dasar kenegaraan yang telah terbukti kebenarannya sepanjang sejarah dengan apa yang baik dan berguna dari tradisi hidup kebangsaan Indonesia untuk menyusun suatu tertib negara modern. Pancasila juga menyatukan dasar-dasar kenegaraan yang lama dan yang baru. Juga dapat dikatakan, bahwa Pancasila mengandung cita-cita mengenai masyarakat dan negara yang lama dalam bentuk baru. Dengan kata lain juga, Pancasila adalah suatu pusaka lama yang tumbuh dari jiwa dan kebudayaan bangsa Indonesia, tetapi telah berkembang dibawah ilham ide-ide besar dunia menjadi dasar filsafat negara modern.[2]

Begitu besarnya makna dan nilai dari setiap sila yang terkandung dalam Pancasila yang berasal dari rasa saling mengormati antar semasa manusia dan nilai hak asasi manusia yang begitu dijunjung tinggi, ini lah alasan mengapa pancasila menjadi dasar atau jiwa dari setiap produk hukum yang dibuat oleh para aparat.

Dalam hirarki hukum pun Pancasila berada di posisi teratas yang artinya segala jenis produk hukum hendaknya selalu berdasarkan dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila.

Dalam sistem demokrasi seperti pada saat ini maka setiap warga Indonesia mempunyai hak untuk mendirikan dan menjalankan segala bentuk organisasi kemasyarakatan bahkan berhak untuk mendirikan partai politik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas di atur kebebasan setiap warga negara Indonesia untuk berorganisasi, hal ini lah yang kemudian memicu dan memotivasi banyak orang untuk mendirikan partai politik dimana mereka akan berlomba mendapatkan kesempatan untuk maju pada pemilihan umum.

Seperti yang kita ketahui bersama dengan sistem demokrasi sekarang begitu pesatnya pertumbuhan berbagai partai politik dimana setiap partai politik memiliki kepentingan yang berbeda. Hal ini lah yang kemudian menjadi masalah ketika para anggota partai politik ini berhasil memenangi pemilihan umum seperti pemilihan Kepala Daerah sampai pemilihan Legislatif. Dengan tujuan dan kepentingan masing-masing maka sangat memnungkin untuk mereka dapat membuat suatu produk hukum yang menguntungkan mereka selama menjabat masa jabatan atau menguntungkan kelompok/organisasi mereka sendiri. Begitu variatif nya latar belakang setiap anggota legislatif dan para eksekutif menimbulkan berbagai dugaan ketika banyaknya produk hukum atau kebijakan-kebijakan yang menyimpang dari semangat dan nilai-nilai Pancasila.

Ketika para aparat memiliki kewenangan untuk menciptakan suatu produk hukum maka hendaklah sumber hukum materil dalam proses penciptaan produk hukum itu Pancasila agar secara pasti melindungi setiap hak, memberikan keadilan kepada seluruh masyarakat, dan menyetarakan kedudukan setiap orang dalam proses hukum.

Namun seperti yang kita ketahui bersama beberapa tahun ini banyak produk hukum yang diciptakan oleh para aparat yang tidak sesuai dengan pancasila, salah satu contohnya adalah Undang-Undang Penanaman Modal Asing yang membuka kesempatan kepada pihak asing untuk memanfaatkan sumber daya kekayaan bangsa kita untuk mereka ambil keuntungannya, padahal menurutnya Pasal 33 (Ayat 3) jelas menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam hukum ada dikenal istilah Law As a Tool Of Social Engineering, yang artinya bahwa hukum adalah untuk merubah masyarakat, tentunya dalam setiap produk hukum yang diciptakan oleh aparat yang berwenang para aparat ini berkeinginan agar masyarakat dapat mematuhi produk hukum yang mereka buat. Kemudian yang menjadi masalah adalah apakah produk hukum yang telah dibuat ini benar-benar menjunjung tinggi keadilan, hak asasi manusia (dalam hal ini adalah masyarakat Indonesia), dan rasa kemanfaatan.

Setiap produk hukum hendaknya menjiwai nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, yaitu :

1. KETUHANAN YANG MAHA ESA

Dalam setiap produk hukum baik berupa Undang-Undang, Peraturan Presiden, sampai Peraturan Daerah sekalipun hendaknya selalu menjunjung nilai dari sila KETUHANAN YANG MAHA ESA, artinya setiap produk hukum selalu menghormati dan melindungi setiap Warga Negara Indonesia untuk bebas memeluk dan menjalankan kepercayaannya masing-masing seingga tidak ada diskriminasi terhadap salah satu agama atau kepercayaan.

2. KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB

Sesuai dengan nilai dari sila kedua ini maka setiap produk hukum yang dibuat oleh aparat yang berwenang harus dilandasi rasa kemanusiaan yang tidak membedakan setiap Warga Negara Indonesia sehingga menimbulkan keadilan, serta menjaga sifat keberadaban untuk setiap Warga Negara Indonesia dengan implementasi yang nyata.

Dalam kaitannya dengan hakikat negara harus sesuai dengan hakikat sifat kodrat manusia yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Maka bentuk dan sifat Negara Indonesia bukanlah negara individualis yang hanya menekankan sifat makhluk individu, namun juga bukan Negara klass yang hanya menekankan sifat mahluk sosial , yang berarti manusia hanya berarti bila ia dalam masyarakat secara keseluruhan . maka sifat dan hakikat Negara Indonesia adalah monodualis yaitu baik sifat kodrat individu maupun makhluk sosial secara serasi, harmonis dan seimbang.

3. PERSATUAN INDONESIA

Suatu produk hukum harus bersifat menyatukan, artinya dengan segala perbedaan adat, suku, ras, dan budaya setiap daerah maka produk hukum ini harus mampu menyatukan seluruh masyarakat Indonesia, bukan menciptakan produk hukum yang justru bisa memecah belah persatuan bangsa dengan sifat diskriminatif yang hanya mementingkan keinginan suatu golongan.

4. KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN/ PERWAKILAN

Nilai yang terkandung dari sila ini adalah bahwa ketika suatu produk hukum dibuat maka produk hukum itu maka produk hukum itu harus menjunjung tinggi nilai kemasyarakatan yang dimana apabila terjadi suatu pelanggaran hukum hendaknya terlebih dahulu diselesaikan secara musyawarah.

5. KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA

Dalam sebuah produk hukum tentu memilik tujuan untuk diterapkan kepada masyarakat, maka dalam segala tujuan hukum tersebut harus selalu menjaga rasa keadilan di masyarakat, artinya dalam proses penegakan hukum tidak boleh pandang bulu, setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum harus menjalani proses hukum seperti yang telah tertulis dalam hukum normatifnya. Bukan karena seorang pejabat yang tersangkut permasalahan hukum lalu kemudian dilakukan pemeriksaannya di dalam sebuah hotel mewah, hal ini sangat menimbulkan kesenjangan sosial yang tentunya tidak sesuai dengan nilai yang terkandung dalam sila kelima Pancasila ini.

Semua peraturan yang dibuat dan dilaksanakan haruslah bersumber pada Pancasila, karena setiap peraturan itu hanya akan diterima oleh rakyat kalau peraturan itu sesuai dengan jiwa rakyat yaitu Pancasila.[3]

Pancasila jika diselidiki secara mendalam akan dapat diketahui bahwa pada hakekatnya Pancasila adalah suatu kesatuan bulat asas-asas budi pekerti atau moral yang dapat disebut moral Pancasila. Dengan demikian penetapan Pancasila sebagai dasar filsafat negara berarti juga moral Pancasila yakni moral bangsa Indonesia menjadi moral Negara Republik Indonesia, yaitu moral yang mengikat negara. Selanjutnya hal ini berarti juga bahwa moral pancasila telah menjadi sumber tertib negara dan sumber tertib hukumnya, serta jiwa seluruh kegiatan negara dalam segala bidang kehidupannya.[4]

Dalam hal pembentukan hukum tidak tertulis, hubungan antara cita hukum dan sistem norma hukum tidak terjadi desintegrasi karena sistem norma hukum terbentuk dari endapan-endapannilai yang tersaingi oleh perilaku masyarakat sendiri, melalui penerimaan individu-individu dalam keluarga, keluarga-keluarga dalam suku, dan suku-suku dalam marga, serta marga-marga dalam negara.[5]

Lain halnya dengan pembentukan hukum tertulis. Hukum dan sistem norma hukum dibentuk oleh perorangan atau kelompok perorangan, baik sebagai pejabat-p[ejabat maupun sebagai wakil-wakil rakyat. Hubungan antara cita hukum dan sistem norma hukum bergantung kepada kesadaran dan penghayatan para pejabat dan para wakil rakyat tersebut terhadap cita hukum yang ada dalam masyarakat, yang memang mempunyai fungsi konstitutif dan regulatif dalam pembentukan hukum tersebut. Dan karena pembentukan hukum tertulis tidak berlangsung melalui tahapan-tahapan endapan nilai, maka kemungkinan terjadinya disintegrasi antara cita hukum dan sistem norma hukum besar sekali.[6]

BAB III

KESIMPULAN

  1. Pancasila merupakan tujuan bangsa Indonesia yang bersumber dari peradaban rakyat Indonesia secara turun-temurun.
  2. Meskipun didalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak disebutkan bahwa Pancasila merupakan sumber hukumnya, namun di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 jelas bahwa Pancasila merupakan sumber hukum, tujuan negara, yang harus di laksanakan dengan bijaksana oleh seluruh masyarakat.
  3. Bahwa masih terdapat beberapa produk hukum yang tidak melaksanakan nilai-nilai Pancasila.
  4. Bahwa dalam membuat produk hukum para aparat yang berwenang hendaknya selalu berdasarkan pada Pancasila agar produk hukum yang dibuat tersebut tidak merugikan masyarakat.


[1] Drs. Burhanuddin Salam. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta : Bina Aksara, hal 20.

[2] Noor Ms Bakry. Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta : liberty, hal 41.

[3] Dahlan Thaib, SH. 1991. PANCASILA YURIDIS KETATANEGARAAN. Yogyakarta : Unit Penerbit dan Pecetakan AMP YKPN, hal. 77.

[4] Noor Ms Bakry. Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta : liberty, hal 41.

[5] Oetojo Oesman dan Alfian. Pacasila Sebagai ideologi. Jakarta : Perum Percetakam Negara RI, hal 80.

[6] Ibid.

Tugas Mata Kuliah Politik Hukum - Tinjauan Yuridis Kewenangan Aparat Dalam Menciptakan Produk Hukum

BAB I

PERMASALAHAN

Lembaga DPR, Presiden, Kepala Daerah, dan Hakim merupakan beberapa aparat yang berwenang mencipatakan suatu produk hukum yang sesuai dengan tujuan negara. Setiap wewenang yang mereka miliki tentunya berasal dari Undang-Undang yang artinya kewenangan yang mereka miliki bersifat atributif, namun ada beberapa aparat yang memiliki kewenangan distributif yang artinya kewenangan yang diberikan tidak lewat undang-undang.

DPR merupakan lembaga negara yang berwenang untuk mengeluarkan produk hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, seperti halnya DPR, Presiden, Kepala Daerah (gubernur dan bupati), dan bahkan hakim, dengan kewenangan yang demikian maka sudah seharusnya para aparat ini mampu memahami betul tatacara atau hal-hal lain yang berkenaan dengan pembuatan peraturan perundang-undangan.

Hirarki pemerintahan kita dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, sampai pemerintahan desa sangat memungkin untuk terjadinya penyerahan berbagai wewenang baik wewenang yang bersifat Atributif dan Distributif ( Mandat dan Delegasi) sehingga harus jelas yang mana wewenang Atributif dan yang mana wewenang Distributif agar jelas pertanggung jawaban atas setiap kewenangan tersebut.

Hal ini lah yang kemudian menarik untuk kita angkat sebagai bahan pembelajaran apa kah aparat telah menjalankan wewenangnya dengan benar dan sesuai seperti sifat dari pelimpahan kewenangan itu sendiri dan apakah tergolong Atributif, Mandat, atau Delegasi agar tidak terjadi kekaburan dalam konteks siapa yang harus bertanggung jawab atas kewenangan tersebut.

BAB II

PEMBAHASAN MASALAH

Menurut Hasibuan (2007:64) wewenang adalah kekuasaan yang sah dan legal yang dimiliki seseorang untuk memerintah orang lain, berbuat atau tidak berbuat atau tidak berbuat sesuatu, kekuasaan merupakan dasar hukum yag sah dan legal untuk dapat mengerjakan sesuatu pekerjaan.

Sutarto (2001:141) berpendapat wewenang adalah hak seseorang untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas serta tanggung jawabnya dapat dilaksanakan dengan baik.

Secara teori, kewenangan mempunyai sifat 2 macam yaitu kewenangan yang bersifat atributif dan yang lain adalah bersifat distributif. Kewenangan yang bersifat atributif adalah kewenangan bersifat melekat maksudnya kewenangan yang langsung diberikan oleh undang-undang. Sedangkan kewenangan yang bersifat distributif adalah kewenangan yang misalnya diberikan oleh atasan kepada bawahan dan hanya bersifat sementara.

Adapun perbedaan antara kewenangan atributif dan kewenangan distributif adalah terletak pada pertanggung jawabannya, kewenangan atributif memiliki tanggung jawab yang melekat kepada aparat atau pejabat yang langsung ditunjuk oleh undang-undang. Sedangkan kewenangan distributif terbagi dua yaitu mandat dan delegasi, untuk mandat pertanggung jawabannya melekat pada pemberi wewenang dan untuk delegasi pertanngung jawabannya berpindah kepada si penerima wewenang.

A. Kewenangan Yang Bersifat Atributif

Di lihat dari 2 sifat kewenangan diatas maka wewenang yang dimiliki oleh anggota DPR untuk membuat produk hukum adalah wewenang yang bersifat atributif yang artinya adalah wewenang itu langsung diberikan oleh undang-undang. Dalam hal ini adalah undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah jelas diatur mengenai tugas dan wewenang lembaga DPR dalam pasal 71.

Sesuai pasal 71 (a) membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Artinya disini adalah anggota DPR mempunyai kewenangan atributif dalam menjalankan kewenangannya sesuai undang undang. Dalam hal lain nya pun demikian seperti dalam hal memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang.

Dapat kita lihat bahwa DPR menciptakan produk hukum dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan. Selain menciptakan suatu produk hukum, DPR juga berwenang merubah atau merevisi produk hukum yang sudah ada sebelumnya, dan bahkan DPR jua berwenang untuk menemukan produk hukum artinya DPR berwenang untuk membuat peraturan perundangan yang sebelumnya tidak pernah ada.

Seluruh produk hukum yang kemudian telah resmi diberlakukan hendaknya bertujuan untuk mewujudkan tujuan negara, dalam hal ini tentunya untuk melindungi masyarakat dan memberikan rasa nyaman kepada masyarakat. Namun tidak sedikit pula produk hukum DPR yang kemudian malah dipersoalkan karena dianggap tidak berpihak kepada rakyat atau tidak sesuai dengan tujuan negara.

Sama hal nya dengan DPR yang mempunyai wewenang yang bersifat atributif, Presiden juga mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan produk hukum dalam bentuk Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Instruksi Presiden. Dari beberapa contoh produk hukum oleh Presiden, keseluruhnya adalah kewenangan yang bersifat atributif yang artinya langsung diberikan oleh undang-undang.

Tidak hanya Presiden dan DPR yang memiliki wewenang atributif, lewat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka pemerintah daerah yang didipimpin oleh Kepala Daerah juga memiliki kewenangan tersendiri yang bersifat atributif dalam segala bidang seperti pemerintah pusat kecuali :

a. Politik Luar Negeri

b. Pertahanan

c. Keamanan

d. Yustisi

e. Moneter dan Fiskal Nasional, dan

f. Agama

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka setiap daerah berwenang untuk mengeluarkan peraturan sendiri khusus untuk daerahnya sendiri yang kemudian kita kenal dengan sebutan Peraturan Daerah (PERDA). Setiap Peraturan Daerah tentunya akan dibahas di DPRD bersama dengan Kepala Daerah baik Gubernur maupun Bupati/Walikota sesuai tingkat wilayah pemerintahan masing-masing.

Oleh karena DPRD bersama Kepala Daerah berwenang membuat produk hukum dalam hal ini Peraturan Daerah maka DPRD dan Kepala Daerah dapat dimintai pertanggungjawaban atas produk hukum yang mereka buat karena kewenangan yang mereka miliki bersifat atributif.

Dibidang hukum, seorang Hakim juga memiliki wewenang untuk memutus suatu perkara tentu dengan mempertimbangkan rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Wewenang Hakim bersifat atributif karena langsung diberikan oleh Undang-Undang. Apabila dikemudian hari ada putusan hakim yang ditemukan tidak sesuai dengan yang seharusnya atau tidak memenuhi unsur keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, atau putusan tersebut tidak sesuai Undang-Undang maka Komisi Yudisial dapat memeriksa hakim yang bersangkutan untuk dimintai pertanggung jawabannya.

B. Kewenangan Yang Bersifat Distributif

Kewenangan distributif adalah kewenangan yang diberikan oleh atasan kepada bawahan yang bersifat sementara. Kewenangan distributif terbagi menjadi 2 jenis berdasarkan pertanggung jawaban, yaitu :

1. Mandat

Mandat adalah wewenang yang diberikan oleh atasan kepada bawahan yang mana pertanggung jawabannya tetap melekat pada si pemberi mandat. Pelimpahan bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat yang memberi mandat.

Mandat adalah perintah atau arahan yang diberikan oleh orang banyak (rakyat, perkumpulan, dsb) kepada seseorang (beberapa orang) untuk dilaksanakan sesuai dengan kehendak orang banyak itu. Sehingga contohnya ketika kepala daerah memerintahkan bawahannya mengeluarkan uang daerah untuk suatu kepentingan, maka konsekuensi tanggung jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi mandat (kepala daerah).[1]

Dalam pemberian mandat, pemberi mandat dapat mengunakan kewenangan yang telah diberikannya itu setiap saat, berbeda dengan delegasi yang harus dilakukan pencabutan, yaitu sesuai asas Kontrarius Actus. Mandataris (penerima mandat) tidak dapat memberikan mandat itu kepada oranglain, dengan kata lain mandataris tidak dapat memberikan Sub-Mandat.

Dalam kehidupan kepemerintahan mandat misalnya ketika seorang Kepala Dinas atau Kepala Badan memberikan mandat kepada bawahannya untuk melakukan tugasnya dikarenakan pemberi mandat harus melakukan hal lain. Maka penerima mandat berwenang menjalankan mandat yang diberikan tersebut, namun ketika mandat tersebut telah dilaksanakan secara otomatis mandat tersebut berakhir tanpa harus dikeluarkan surat penarikan mandat.

Contoh lain adalah misalnya ketika Gubernur sedang berada di luar daerah, dan pada saat bersamaan di daerah yang dipimpinnya dia harus memberikan persetujuannya untuk memberikan dana kepada salah satu daerahnya maka dia bisa memberikan mandat kepada Wakil Gubernur atau Sekretaris Daerahnya untuk menandatangani persetujuan tersebut, tentu setelah persetujuan tersebut ditandatangani oleh Wakil Gubernur atau Sekretaris Daerah maka mandat yang diberikan oleh Gubernur tersebut otomatis berakhir dan apabila dikemudian hari terjadi permasalahan dengan keputusan pemberian dana tersebut maka Gubernur langsung lah yang bertanggung jawab.

2. Delegasi

Adapun beberapa definisi Delegasi :
a. Menurut Ralph C. Davis :

Pendelegasian wewenang hanyalah tahapan dari suatu proses ketika penyerahan wewenang berfungsi melepaskan kedudukan dengan melaksanakan pertanggung jawaban.[2]
b. Menurut Louis A. Allen :

Pendelegasian adalah proses yang diikuti oleh seorang manajer dalam pembagian kerja
yang ditimpakan padanya, sehingga ia dapat memperoleh orang-orang lain untuk membantu pekerjaan yang tidak dapat ia kerjakan.[3]

Merujuk pada buku Ilmu Perundang-undangan Jilid 1 karangan Maria Farida Indriati Soeprapto halaman 55-56, dikatakan bahwa:

Delegasi Kewenangan dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan (delegatie van wetgevingsbevoegdheid) ialah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan yang lebih rendah, baik dinyatakan dengan tegas maupun tidak dinyatakan dengan tegas. Pada kewenangan delegasi tersebut tidak diberikan, melainkan “diwakilkan”, dan selain itu kewenangan delegasi ini bersifat sementara dalam arti kewenangan ini dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada”.

Delegasi adalah penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain. Kata penyerahan berarti ada perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegataris).[4] Dilihat dari pertanggung jawabannya Delegasi diiringi dengan penyerahan tanggungjawab sehingga penerima delegasi akan bertanggung jawab penuh atas kewenangan delegasi yang diterimanya.

Ketika penyerahan delegasi dilakukan maka aparat penerima delegasi tersebut berwenang menciptakan suatu produk hukum. Salah satu contoh Delegasi adalah ketika Pemerintah Pusat memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan pada daerahnya masing-masing. Sehingga Pemerintah Daerah bertanggung jawab penuh atas kewenangan delegasi yang diterimanya. Contoh lain adalah ketika Kepala Daerah memberikan kewenangan kepada Kepala Dinas atau Camat untuk menjalankan pelayanan publik dan untuk membuat produk hukum dalam bentuk apapun sesuai dengan tujuan negara.

Adapun perbedaan antara Delegasi dengan Atribusi adalah pada Delegasi kewenangan tersebut hanya diwakilkan, namun tidak diberikan berdasarkan Undang-Undang. Tapi penerima delagasi wajib bertanggungjawab atas segala tindakan dalam kewenangan tersebut.

Berbeda dengan mandat yang tanggungjawabnya otomatis selesai ketika mandat itu telah dilaksanakan, tanggung jawab delegasi berakhir ketika dikeluarkan kan surat atas berakhirnya delegasi tersebut.

BAB III

KESIMPULAN

  1. Setiap lingkup pemerintahan mempunyai aparat-aparat yang berkewenangan untuk menciptakan produk hukum tentunya dengan cara pelimpahan kewenangan yang beragam sehingga harus dipastikan suatu pelimpahan kewenangan harus bersifat atributif,mandat, atau delegasi.
  2. Kewenangan yang bersifat Atributif merupakan kewenangan yang bersifat tetap dan melekat dan bersumber langsung dari Undang-Undang, sehingga setiap aparat yang memiliki kewenangan tersebut wajib dimintai pertanggungjawaban apakah telah menjalankan kewenangan tersebut sesuai tujuan negara kita.
  3. Kewenangan Distributif adalah kewenangan yang diberikan oleh pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah seperti Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah. Namun kewenangan Distributif tersebut dibagi lagi menjadi Mandat dan Delegasi. Perbedaan Mandat dan Delegasi adalah pada petanggungjawabannya, sehingga setiap aparat yang memperoleh kewenangan Delegasi untuk membuat produk hukum harus sesuai dengan tujuan negara dan apabila tidak sesuai dengan rasa keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan, aparat tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban.


[1] Blackgank Ar’oNe, “Atribusi, Kewenangan, Delegasi, Mandat”, diakses dari http://arwanblack74.blogspot.com/2011/06/atribusi-kewenangan-delegasi-dan-mandat.html , pada tanggal 6 Maret 2012 pukul 18.50

[2] Davis Ralph C, “Wewenang, Delegasi, Sentralisasi, Desentralisasi” di akses dari http://wahyu410.wordpress.com/2010/11/07/wewenang-delegasi-sentralisasi-dan-desentralisasi/, pada tanggal 6 Maret 2012 pukul 19.15

[3] Ibid.

[4] Setiawan Yudhi, “Instrumen Hukum Campuran (Gemeenschapelijkrecht) dalam Konsolidasi Tanah”, diakses dari http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/12/22/tantangan-dan-hambatan-konsolidasi-tanah-bagian-iii/, pada tanggal 6 Maret 2012 pukul 19.30